KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan
Hinayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Pembuatan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pragmatik. Makalah
ini berisikan tentang informasi mengenai Bahasa dan Konteks Sosial, Peristiwa
Tutur, Tindak tutur serta Tindak Tutur dan Pragmatik, diharapkan makalah ini
dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Dalam proses penyusunan makalah ini, tentunya penulis
mendapatkan bimbingan, arahan, dan pengetahuan, untuk itu rasa terima kasih
kami sampaikan kepada:
- Ibu Zuraida, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah “Pragmatik”
- Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini.
Penulis menyadari, sebagai seorang
pelajar yang pengetahuannya belum seberapa dan masih banyak belajar dalam
membuat makalah. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna.
Harapan kami, mudah-mudahan makalah yang sederhana ini benar-benar dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Tangerang,
19 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………. i
DAFTAR
ISI………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN……..……………………………………………. 1
1.1.
Latar Belakang Masalah……………………………………………… 1
1.2.
Identifikasi Masalah…………………………………………………… 2
1.3.
Pembatasan Masalah………………………………………………… 2
1.4.
Rumusan Masalah……………………………………………………. 3
1.5.
Tujuan Penelitian……………………………………………………... 3
BAB II KAJIAN TEORI……………………………………………………. 4
2.1.
Bahasa dan Konteks Sosial…………………………………………. 4
2.2.
Peristiwa Tutur………………………………………………………… 7
2.3.
Tindak Tutur…………………………………………………………… 8
2.4.
Tindak Tutur dan Pragmatik…………………………………………. 11
BAB
III PENUTUP…………………………………………………………. 13
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………... 13
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………. 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Bahasa
merupakan alat komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi yang
dihasilkan alat ucap manusia. Bahasa sendiri digunakan untuk berkomunikasi
antar sesama untuk menyampaikan suatu aspirasi, gagasan atau pikiran dalam
masyarakat. Tanpa adanya bahasa, manusia sebagai makhluk sosial akan sulit
untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Tentu kita ketahui bahwa di Indonesia memiliki berbagai
macam bahasa yang berbeda sesuai dengan wilayah yang ada. Dari wilayah Sabang
sampai Merauke jika kita jelajahi secara langsung, pasti jarang ada yang
menggunakan bahasa yang sama kecuali bahasa Nasional negara kita, namun jika
kita temukan didalam pedalaman wilayah di negara kita, pasti ada suku yang
tidak mengetahui bahasa nasional karena telah terbiasa menggunakan bahasa
penghantar di wilayahnya tersebut.
Dalam penggunaan bahasa itu sendiri, ada penempatan dalam
berbahasa sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Maka tak jarang di kota-kota
besar sekalipun, seseorang yang berbahasa sesuai dengan konteks sosial yang ada.
Dalam bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada golongan
masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti
ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Karena
kita ketahui bahwa, ada dua aspek yang mendasar dalam pengertian masyarakat.
Yang pertama ialah bahwa anggota-anggota suatu masyarakat hidup dan berusaha
bersama secara berkelompok-kelompok. Aspek yang kedua ialah bahwa
anggota-anggota dan kelompok-kelompok masyarakat dapat hidup bersama karena ada
suatu perangkat hukum dan adat kebiasaan yang mengatur kegiatan dan tindak laku
mereka, ter masuk tindak laku berbahasa.
Judul makalah ini sengaja dipilih karena menarik
perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak
yang peduli terhadap bahasa dalam konteks sosial.
1.2.
Identifikasi
Masalah
Melihat
semua yang melatarbelakangi masalah yang telah di uraikan, maka penulis menarik
beberapa masalah dengan berdasarkan kepada:
a. Kurangnya
pengetahuan berbahasa sehingga menimbulka ketidaktahuan berbahasa yang baik dan
benar di kalangan masyarakat pada umumnya.
b. Minimnya
ilmu kebahasaan yang dikembangkan dalam masyarakan sesuai dengan konteks
sosial.
1.3.
Pembatasan Masalah
Karena begitu luas ilmu
tentang kebahasaan, maka penulis membatasi penelitian hanya pada aspek Bahasa
dalam Konteks Sosial Masyarakat, Peristiwa Tutur dalam berbahasa dan
berkomunikasi serta Tindak Tutur yang baik dan benar.
1.4.
Rumusan Masalah
Atas dasar penentuan
latar belakang dan identifikasi masalah yang telah di uraikan, maka penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana bahasa dan
konteks sosial?
b. Apa peristiwa tutur dan
tindak tutur?
c. Apa yang di maksud
tindak tutur dan pragmatik?
1.5.
Tujuan Penelitian
a. Tujuan umumnya adalah
untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah pragmatik.
b. Tujuan khususnya untuk
mengetahui bahasa dan konteks sosial dalam masyarakat luas.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Bahasa dan Konteks
Sosial
Manusia
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas
kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya bagaian bahasa di
dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkan berbeda dengan bahasa
lainnya. Hubungan yang terdapat
diantara bahasa dan masyarakat yaitu adanya hubungan antara bentuk-bentuk
bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunanya
untuk fungsi-fungsi tertentu didalam masyarakat. Misalnya dalam dunia
pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan sehari-hari dirumah kita
menggunakan ragam tak baku, untuk kegiatan berbisnis kita menggunakan ragam
usaha, dan untuk kegiatan pencipta karya sastra (puisi atau novel) kita
menggunakan ragam sastra.
Adanya
tingkatan sosial dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan jika
ada; kedua, deri segi kedudukan
sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang
dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan
untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak.
Untuk
melihat adakah hubugan kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh masyarakat
tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat
(1967:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi,
(4) ndara. Dari penggolongan itu
adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara; atau petani yang
tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing
menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkatat sosialnya
lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih
tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah yaitu ngoko.
Dalam
masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial
berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada; atau walaupun ada
sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat
dari status sosial ekonomi. Begitulah, dalamm masyarakat ibu kota Jakarta ada
dikenal istilah golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa
saja yang masuk dalam golongan tersebut adalah relative, agak sukar ditentukan;
tetapi kalau di lihat golongan sosial ekonominya, maka golongan ketiga itu bisa
ditentukan.
Tahun
1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur
kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City
(lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang
direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang.
Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi
menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode
sampling.
Ada
kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke
tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s.
kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan
gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di
Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:
·
Kelas Menengah Tinggi (KMT)
·
Kelas Menengah Atas (KMA)
Dalam komunikasi dua arah, secara
berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi
pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan
sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek
yaitu:
a.
Aspek linguistic.
b.
Aspek nonlinguistik atau paralinguistik.
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun
komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan
sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan,
yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea atau konsep).
Aspek paralinguistik mencakup: Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang
seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan
sebagainya.
Aspek linguistic dan paralinguistik berfungsi
sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau
membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.
Bahasa dalam konteks sosial mempunyai unsur
supra segimental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch), dan intonasi, Jarak dan
gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, rabaan dan
sebagainya. Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit).
2.2. Peristiwa Tutur
Yang
dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam tempat, waktu dan
situasi tertentu.
Dell Hymes (1972) mengatakan bahwa peristiwa tutur harus
memenuhi delapan komponen, yang dikenal dengan speaking. Kedelapan
komponen tersebut adalah:
1)
S (Setting and Scene) : Waktu,tempat
dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang
berbeda.
2)
P (Participants) : pihak-pihak
yang terlibat dalam pertuturan, bias pembicara dan pendengar, penyapa dan
pesapa atau pengirim pesan dan penerima pesan.
3)
E (End : purupose and
goal) : merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan peristiwa yang
terjadi pada ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu perkara,
namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang
berbeda.
4)
A (Act Sequences) :Bentuk ujaran dalam perkuliahan, dalam
percakapan biasa dan dalam pesta pasti berbeda. Begitu juga dengan isi yang
dibicarakan
5)
K (Key : tone or spirit of Act) : mengacu pada nada,
cara dan semangat dimana suatu pesan disampaikan
6)
I (Instrumentalities) : mengacu pada jalur bahasa
yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
7)
N (Norm of interaction and interpretation) : mengacu
pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
8)
G (Genres) : mengacu pada jenis bentuk penyampaian,
seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.
2.3. Tindak Tutur
Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang
terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Sebelum membicarakan teori
mengenai tindak tutur itu baiknya kita bicarakan dulu pembagian jenis kalimat
yang dilakukan para ahli tata bahasa tradisional. Ada tiga jenis kalimat, yaitu
:
1)
Kalimat deklaratif yaitu kalimat yang isinya hanya meminta
pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak
usah melakukan apa-apa, sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan
saja.
2)
Kalimat introgatif, yaitu kalimat yang isinya meminta agar
pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu member jawaban secara lisan.
3)
Kalimat impreratif, yaitu kalimat yang isinya meminta agar
pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu member tanggapan berupa
tindakan atau perbuatan yang di minta.
Pembagian
kaliamat tersebut berdasarkan bentuk kaliamt itu secara terlepas.
Menurur
Austin (1962) tuturan dibedakan menjadi tuturan konstatif dan tuturan
performatif.
Tuturan
konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji
benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia (Gunawan 1994:
43).
Contoh :
·
“Manuk Dadali adalah lagu daerah Jawa Barat.”
·
“Dakka ibu kota Bangladesh.”
Tuturan
performatif adalah tuturan yang pengutaraanya digunakan intuk melakukan sesuatu
(Wijana 1996: 23).
Contoh :
·
“Saya berani menjamin Milan akan memenangkan pertandingan malam
ini.”
·
“Saya berjanji akan datang besok.”
Murid
Austin, Searle mengembangkan dua jenis tuturan itu ke dalam tiga jenis tindak
tutur. Menurut Searle (1983) tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur
lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi.
Tindak
tutur lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu.
Contoh :
·
”Dia kebingungan.”
·
“Saya sakit.”
·
“Bajunya basah.”
Tindak
tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya
tuturan atau tindak tutur yang ditujukan untuk memberikan efek atau pengaruh
kepada lawan tutur.
Contoh :
·
“Ban motor saya bocor.”
·
“Di bus itu banyak copet
yang biasanya menyamar menjadi pengamen.”
Tindak
tutur perlokusi adalah efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu bahasa.
Austin (1962: 101). Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur
secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang
pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur, inilah yang merupakan
tindak perlokusi.
Contoh
Contoh
·
“Pukul saja!”
·
“Ada rampok!”
Selanjutnya,
Searle mengklasifikasikan tuturan ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur,
yaitu: tindak tutur asertif yang disebut juga dengan tindak tutur
representatif, direktif yang disebut juga dengan tindak tutur impositif,
ekspresif yang disebut juga dengan tindak tutur evaluative, komisif, dan isbati
yang disebut juga dengan tindak tutur deklarasi.
2.4. Tindak Tutur dan Pragmatik
Sebagai
topic yang melingkupi deiksis, presuposisi, dan implikatur percakapan,
pragmatik lazim diberi definisi sebagai “telaah mengenai hubungan diantara
lambang dengan penafsiran” (Purwo 1990 : 15). Yang dimaksud dengan lambang di
sini adalah satuan ujaran, entah berupa satu kalimat atau lebih, yang “membawa”
makna tertentu, yang didalam pragmatik di tentukan atas hasil penafsiran si
pendengar.
Sebuah
satuan ujaran dalam tindak tutur dapat dipahami pendengar dengan baik, apabila
deiksisnya jelas, presuposisinya diketahui, dan implikatur percakapannya
dipahami. Secara singkat masalah itu di bicarakan dibawah ini.
Yang
dimaksud dengan deiksis adalah
hubungan antar kata yang digunakan di dalam tidak tutur dengan referensi kata
itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Perhatikan contoh
berikut!
- A dan B sedang
bercakap-cakap, bagian akhir dari percakapan itu berupa:
A : saya belum bayar
SPP, belum punya uang.
B : sama, saya juga.
Jelas,
dari kata saya pada percakapan itu,
pertama mengacu pada A, lalu mengacu pada B. Maka kata saya itu disebut bersifat deiksis.
Yang
dimaksud dengan presuposisi dalam
tindak tutur adalah makna atau informasi tambahan yang terdapat dalam ujaran
yang digunakan secara tersirat. Umpamanya, dalam tindak tutur yang berbunyi,
“Kerjakan dulu soal yang mudah, kemudian yang lebih sukar dan yang sukar”,
mempunyai presuposisi bahwa soal-soal
yang harus dikerjakan ada yang sukar dan ada pula yang mudah.
Yang
dimaksud dengan implikatur percakapan, adalah
adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang
sedang bercakap-cakap. Keterkaitan ini tidak tampak secara literal, tetapi hanya dipahami secara tersirat.
Perhatikan contoh berikut!
A. : wah, panas sekali, ya,
sore ini! kamu kok tidak keringetan, apa enggak kegerahan?
B. : Nggak! Aku sudah mandi
tadi!
Kalimat
si B secara literal tidak bersangkut paut dengan kalimat pertanyaan dari A.
Tetapi yag tersirat dari kalimat jawaban itu, yakni bahwa ‘si A merasa panas
karena belum mandi’ dapat dipakai sebagai pengait bagi kelancaran atau
“pemasukakalan” dialog tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Manusia
adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu
berinteraksi dengan sesamanya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial
tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berhubung
kaitan
dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena
masyarakat dan berhubung kaitan dengan bidang sain sosial seperti
Antropologi seperti sistem kerabat.
Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik
memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi
bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk
arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif
yaitu untuk menirukan alam fantasi serta fungsi emosi seperti
untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.
Konteks
sosial bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada
golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang
kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan
sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. “Sosiolinguisitik Perkenalan Awal”.
Jakarta: Rineka Cipta