Kamis, 16 Januari 2014

Makalah Bahasa dan Konteks Sosial




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pragmatik. Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai Bahasa dan Konteks Sosial, Peristiwa Tutur, Tindak tutur serta Tindak Tutur dan Pragmatik, diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.

Dalam  proses penyusunan makalah ini,  tentunya penulis mendapatkan bimbingan, arahan, dan pengetahuan, untuk itu rasa terima kasih kami sampaikan kepada:
  • Ibu Zuraida, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah “Pragmatik”
  • Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak  memberikan masukan untuk  makalah ini.
Penulis menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya belum seberapa dan masih banyak belajar dalam membuat makalah. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna. Harapan kami, mudah-mudahan makalah yang sederhana ini benar-benar dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.


                                                                  Tangerang, 19 Oktober 2013
                                                          
                                                                                  Penulis















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….          i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………          iii
BAB I PENDAHULUAN……..…………………………………………….          1
1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………………         1
1.2. Identifikasi Masalah……………………………………………………         2
1.3. Pembatasan Masalah…………………………………………………         2
1.4. Rumusan Masalah…………………………………………………….         3
1.5. Tujuan Penelitian……………………………………………………...         3
BAB II KAJIAN TEORI…………………………………………………….          4
2.1. Bahasa dan Konteks Sosial………………………………………….          4
2.2. Peristiwa Tutur…………………………………………………………          7
2.3. Tindak Tutur……………………………………………………………          8
2.4. Tindak Tutur dan Pragmatik………………………………………….          11
BAB III PENUTUP………………………………………………………….         13
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………...        13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….          14




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Bahasa sendiri digunakan untuk berkomunikasi antar sesama untuk menyampaikan suatu aspirasi, gagasan atau pikiran dalam masyarakat. Tanpa adanya bahasa, manusia sebagai makhluk sosial akan sulit untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Tentu kita ketahui bahwa di Indonesia memiliki berbagai macam bahasa yang berbeda sesuai dengan wilayah yang ada. Dari wilayah Sabang sampai Merauke jika kita jelajahi secara langsung, pasti jarang ada yang menggunakan bahasa yang sama kecuali bahasa Nasional negara kita, namun jika kita temukan didalam pedalaman wilayah di negara kita, pasti ada suku yang tidak mengetahui bahasa nasional karena telah terbiasa menggunakan bahasa penghantar di wilayahnya tersebut.
Dalam penggunaan bahasa itu sendiri, ada penempatan dalam berbahasa sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Maka tak jarang di kota-kota besar sekalipun, seseorang yang berbahasa sesuai dengan konteks sosial yang ada. Dalam bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Karena kita ketahui bahwa, ada dua aspek yang mendasar dalam pengertian masyarakat. Yang pertama ialah bahwa anggota-anggota suatu masyarakat hidup dan berusaha bersama secara berkelompok-kelompok. Aspek yang kedua ialah bahwa anggota-anggota dan kelompok-kelompok masyarakat dapat hidup bersama karena ada suatu perangkat hukum dan adat kebiasaan yang mengatur kegiatan dan tindak laku mereka, ter masuk tindak laku berbahasa.
Judul makalah ini sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap bahasa dalam konteks sosial.

1.2.        Identifikasi Masalah
Melihat semua yang melatarbelakangi masalah yang telah di uraikan, maka penulis menarik beberapa masalah dengan berdasarkan kepada:
a.    Kurangnya pengetahuan berbahasa sehingga menimbulka ketidaktahuan berbahasa yang baik dan benar di kalangan masyarakat pada umumnya.
b.    Minimnya ilmu kebahasaan yang dikembangkan dalam masyarakan sesuai dengan konteks sosial.

1.3.        Pembatasan Masalah
Karena begitu luas ilmu tentang kebahasaan, maka penulis membatasi penelitian hanya pada aspek Bahasa dalam Konteks Sosial Masyarakat, Peristiwa Tutur dalam berbahasa dan berkomunikasi serta Tindak Tutur yang baik dan benar.




1.4.        Rumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah di uraikan, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
a.    Bagaimana bahasa dan konteks sosial?
b.    Apa peristiwa tutur dan tindak tutur?
c.    Apa yang di maksud tindak tutur dan pragmatik?

1.5.        Tujuan Penelitian
a.    Tujuan umumnya adalah untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah pragmatik.
b.    Tujuan khususnya untuk mengetahui bahasa dan konteks sosial dalam masyarakat luas.











BAB II
KAJIAN TEORI

2.1.    Bahasa dan Konteks Sosial
Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya bagaian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkan berbeda dengan bahasa lainnya. Hubungan yang terdapat diantara bahasa dan masyarakat yaitu adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunanya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam masyarakat. Misalnya dalam dunia pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan sehari-hari dirumah kita menggunakan ragam tak baku, untuk kegiatan berbisnis kita menggunakan ragam usaha, dan untuk kegiatan pencipta karya sastra (puisi atau novel) kita menggunakan ragam sastra.
Adanya tingkatan sosial dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan jika ada; kedua, deri segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak.
Untuk melihat adakah hubugan kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, (4) ndara. Dari penggolongan itu adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara; atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkatat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah yaitu ngoko.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada; atau walaupun ada sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial ekonomi. Begitulah, dalamm masyarakat ibu kota Jakarta ada dikenal istilah golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa saja yang masuk dalam golongan tersebut adalah relative, agak sukar ditentukan; tetapi kalau di lihat golongan sosial ekonominya, maka golongan ketiga itu bisa ditentukan.
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling. 

Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:
·         Kelas Menengah Tinggi (KMT)
·         Kelas Menengah Atas (KMA)

Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu:
a.    Aspek linguistic.
b.    Aspek nonlinguistik atau paralinguistik.

Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea atau konsep). Aspek paralinguistik mencakup: Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan sebagainya.

Aspek linguistic dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.
Bahasa dalam konteks sosial mempunyai unsur supra segimental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch), dan intonasi, Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, rabaan dan sebagainya. Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit).

2.2.      Peristiwa Tutur
Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam tempat, waktu dan situasi tertentu.
Dell Hymes (1972) mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang dikenal dengan speaking. Kedelapan komponen tersebut adalah:
1)    S (Setting and Scene) : Waktu,tempat dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
2)    P (Participants) : pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bias pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa atau pengirim pesan dan penerima pesan.
3)    E (End : purupose and goal) : merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan peristiwa yang terjadi pada ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.
4)    A (Act Sequences) :Bentuk ujaran dalam perkuliahan, dalam percakapan biasa dan dalam pesta pasti berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan
5)    K (Key : tone or spirit of Act) : mengacu pada nada, cara dan semangat dimana  suatu pesan disampaikan
6)    I  (Instrumentalities) : mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
7)    N (Norm of interaction and interpretation) : mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
8)    G (Genres) : mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.

2.3.      Tindak Tutur
Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur itu baiknya kita bicarakan dulu pembagian jenis kalimat yang dilakukan para ahli tata bahasa tradisional. Ada tiga jenis kalimat, yaitu :
1)    Kalimat deklaratif yaitu kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa, sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja.
2)    Kalimat introgatif, yaitu kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu member jawaban secara lisan.
3)    Kalimat impreratif, yaitu kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu member tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang di minta.
Pembagian kaliamat tersebut berdasarkan bentuk kaliamt itu secara terlepas.
Menurur Austin (1962) tuturan dibedakan menjadi tuturan konstatif dan tuturan performatif.

Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia (Gunawan 1994: 43).
Contoh :
·         “Manuk Dadali adalah lagu daerah Jawa Barat.”
·         “Dakka ibu kota Bangladesh.”

Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraanya digunakan intuk melakukan sesuatu (Wijana 1996: 23).
Contoh :
·         “Saya berani menjamin Milan akan memenangkan pertandingan malam ini.”
·         “Saya berjanji akan datang besok.”

Murid Austin, Searle mengembangkan dua jenis tuturan itu ke dalam tiga jenis tindak tutur. Menurut Searle (1983) tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi.
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu.
Contoh :
·         ”Dia kebingungan.”
·          “Saya sakit.”
·          “Bajunya basah.”

Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan atau tindak tutur yang ditujukan untuk memberikan efek atau pengaruh kepada lawan tutur. 
Contoh :
·         “Ban motor saya bocor.”
·          “Di bus itu banyak copet yang biasanya menyamar menjadi pengamen.”

Tindak tutur perlokusi adalah efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu bahasa. Austin (1962: 101). Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur, inilah yang merupakan tindak perlokusi.
Contoh
·         “Pukul saja!”
·          “Ada rampok!”

Selanjutnya, Searle mengklasifikasikan tuturan ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu: tindak tutur asertif yang disebut juga dengan tindak tutur representatif, direktif yang disebut juga dengan tindak tutur impositif, ekspresif yang disebut juga dengan tindak tutur evaluative, komisif, dan isbati yang disebut juga dengan tindak tutur deklarasi.


2.4.      Tindak Tutur dan Pragmatik
Sebagai topic yang melingkupi deiksis, presuposisi, dan implikatur percakapan, pragmatik lazim diberi definisi sebagai “telaah mengenai hubungan diantara lambang dengan penafsiran” (Purwo 1990 : 15). Yang dimaksud dengan lambang di sini adalah satuan ujaran, entah berupa satu kalimat atau lebih, yang “membawa” makna tertentu, yang didalam pragmatik di tentukan atas hasil penafsiran si pendengar.

Sebuah satuan ujaran dalam tindak tutur dapat dipahami pendengar dengan baik, apabila deiksisnya jelas, presuposisinya diketahui, dan implikatur percakapannya dipahami. Secara singkat masalah itu di bicarakan dibawah ini.

Yang dimaksud dengan deiksis adalah hubungan antar kata yang digunakan di dalam tidak tutur dengan referensi kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Perhatikan contoh berikut!
-       A dan B sedang bercakap-cakap, bagian akhir dari percakapan itu berupa:
A : saya belum bayar SPP, belum punya uang.
B : sama, saya juga.
Jelas, dari kata saya pada percakapan itu, pertama mengacu pada A, lalu mengacu pada B. Maka kata saya itu disebut bersifat deiksis.

Yang dimaksud dengan presuposisi dalam tindak tutur adalah makna atau informasi tambahan yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Umpamanya, dalam tindak tutur yang berbunyi, “Kerjakan dulu soal yang mudah, kemudian yang lebih sukar dan yang sukar”, mempunyai presuposisi bahwa soal-soal yang harus dikerjakan ada yang sukar dan ada pula yang mudah.

Yang dimaksud dengan implikatur percakapan, adalah adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap. Keterkaitan ini tidak tampak secara literal,  tetapi hanya dipahami secara tersirat. Perhatikan contoh berikut!
A.   : wah, panas sekali, ya, sore ini! kamu kok tidak keringetan, apa enggak kegerahan?
B.   : Nggak! Aku sudah mandi tadi!

Kalimat si B secara literal tidak bersangkut paut dengan kalimat pertanyaan dari A. Tetapi yag tersirat dari kalimat jawaban itu, yakni bahwa ‘si A merasa panas karena belum mandi’ dapat dipakai sebagai pengait bagi kelancaran atau “pemasukakalan” dialog tersebut.

           



BAB III
PENUTUP

3.1.      Kesimpulan
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan sesamanya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berhubung kaitan dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berhubung kaitan dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat.
Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk menirukan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.
Konteks sosial bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. “Sosiolinguisitik Perkenalan Awal”.
Jakarta: Rineka Cipta




Tidak ada komentar:

Posting Komentar